Kain Batik |
Hal ini tentunya menjadikan batik tersebut dibanderol dengan harga yang cukup tinggi. Lalu bagaimanakah sebenarnya permintaan pasar akan batik eksklusif seperti ini?
Wolipop bertanya langsung kepada Ketua Umum Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia, Taruna Kusmayadi dan desainer dari Ikatan Perancang Mode Indonesia, Era Soekamto.
Menurut Taruna, batik eksklusif tersebut selalu ada permintaannya walaupun tidak banyak. Satu pejabat pun mungkin hanya membeli paling banyak dua hingga tiga potong baju untuk dikenakan berulang-ulang.
Pertimbangannya adalah roda usaha harus berputar cepat untuk menutupi cost produksi, namun dengan gaya pemesanan eksklusif tersebut, akan menjadi lambat. Selain itu, ia mengakui sulit untuk memproduksi batik yang mahal. Selain lama terjual, biasanya klien akan minta untuk dialterasi ulang dan kembali memakan waktu.
"Target market saya enggak ke situ. Saya bisa aja bikin batik yang harganya puluhan juta tapi jualnya enggak cepat," ujarnya menambahkan. Taruna juga memaparkan bahwa ia lebih sering menemui kliennya memakai batik rancangannya yang ia titipkan di department store.
Soal harga, desainer Era Soekamto pun menjelaskan bahwa harga batik eksklusif yang terjangkau cukup beragam. Ada yang kisarannya mencapai Rp 3 jutaan. Era yang saat ini menjadi desainer utama dari Rumah Mode Iwan Tirta juga menjelaskan, jika diminta, ada pula batik yang lebih eksklusif disertai dengan sertifikasi.
"Harganya bisa mulai dari Rp 15 hingga Rp 25 jutaan," ujarnya.
Penasaran mengapa sehelai kain batik bisa berharga cukup tinggi? Era menjelaskannya dengan perumpaan membeli tas merek mewah. "Orang enggak cuma beli barang itu sebagai fungsinya saja, tapi prestise, kisah di balik brand itu sendiri hingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya," paparnya.
Membahas bentuk atau motif batik eksklusif nan mahal tersebut, ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dilihat mata secara sepintas. Jenis bahan yang lebih halus, motif yang khas, permainan detail dan aplikasi, hingga ketahanan warna ketika berulang kali dibawa ke binatu.
Untuk motif yang dipakai pejabat pun biasanya ada keseragaman atau tren. "Saat ini tren batik dipakai secara simbolik atau hanya sebagai sarung sudah jarang ditemui, kebanyakan sudah siap pakai dengan model yang sudah ada," ujar Taruna.
Ia juga berpendapat untuk keseharian pekerjaan, batik Kudus, Lasem, Jawa dan Solo dulu mendominasi. "sekarang sudah mulai merata yang motifnya asimilasi dari pulau lain," pungkasnya.
Sumber: wolipop.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar